Oleh: Muz MF. Latuconsina
Keputusan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa menertibkan aktivitas tambang emas ilegal di kawasan Gunung Botak (GB) adalah langkah yang patut diapresiasi.
Ini bukan sekadar penegakan aturan, tetapi juga pernyataan tegas bahwa masa depan Maluku tidak bisa dibiarkan dikendalikan oleh praktik-praktik liar yang merusak lingkungan, menyalahi hukum, dan menyandera nasib masyarakat.
Penolakan terhadap kebijakan ini memang muncul dari segelintir pihak. Mereka mengklaim bahwa tambang liar telah menjadi “penopang ekonomi rakyat”. Tapi mari jujur dan berpikir jernih: di seluruh dunia ini, tidak ada satu pun tambang emas ilegal yang mensejahterakan rakyat.
Yang ada justru kerusakan ekologi, konflik sosial, ketimpangan, dan ketergantungan pada ekonomi gelap.
Gunung Botak selama ini menjadi arena eksploitasi tanpa kendali. Emas digali tanpa prosedur, tanpa perlindungan lingkungan, dan tanpa tanggung jawab sosial.
Limbah merkuri meracuni tanah dan sungai, sementara uang mengalir hanya pada segelintir oknum dan cukong-cukong yang memanfaatkan kesenjangan regulasi.
Jika tambang ilegal itu benar-benar mensejahterakan, tentu kita sudah melihat perubahan nyata di desa-desa sekitar GB. Namun yang terlihat justru luka menganga di tubuh Pulau Buru—alam rusak, moral runtuh, dan hukum tak berdaya.
Karena itu, penertiban bukanlah bentuk kekerasan negara, melainkan penyelamatan. Bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga menyelamatkan anak cucu kita dari warisan kehancuran.
Langkah ini harus diikuti dengan penyusunan skema legalisasi pertambangan yang partisipatif, ramah lingkungan, dan berpihak pada masyarakat adat dan lokal.
Penertiban Gunung Botak adalah ujian keberanian. Tapi ini juga momentum untuk menata ulang wajah pertambangan kita. Agar emas tidak lagi jadi kutukan, melainkan berkah yang adil dan lestari.
Kaperwil Maluku (SP)