Oleh: Muz MF. Latuconsina
Peringatan keras kembali digaungkan dari dunia akademik. Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pattimura (UNPATTI), Prof. Yustinus Malle, mengangkat suara yang selama ini nyaris tenggelam di balik hiruk pikuk tambang emas ilegal di Maluku, khususnya di Gunung Botak Pulau Buru.
Dalam pernyataannya, Prof. Malle menyatakan keprihatinan mendalam terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida yang tak terkendali dalam aktivitas tambang ilegal. Menurutnya, kondisi ini sudah berada pada tingkat darurat ekologis dan mengancam keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan di wilayah ini.
Pernyataan seorang guru besar bukanlah sebatas opini biasa. Ia lahir dari riset, data, dan kepedulian ilmiah terhadap masa depan. Ketika suara akademisi berbunyi lantang, itu pertanda bahwa bahaya tak bisa lagi dibiarkan bergulir tanpa penindakan. Bahwa bencana ekologis bukan sekadar kemungkinan, tetapi mulai menampakkan gejalanya dalam wujud pencemaran air, tanah, dan rantai makanan yang secara perlahan tapi pasti menggerogoti kesehatan masyarakat.
Pemerintah, dalam hal ini baik provinsi maupun pusat, tak boleh lagi abai. Peringatan ini adalah cambuk untuk segera bertindak tegas dan cepat. Langkah penertiban harus dilakukan bukan dengan pendekatan seremonial atau sekadar operasi musiman, melainkan melalui strategi yang terstruktur, legal, dan manusiawi. Harus ada peta jalan penanganan tambang ilegal yang melibatkan semua unsur: dari aparat keamanan, lembaga lingkungan hidup, tokoh adat, hingga perguruan tinggi sebagai mitra pemantau dan edukator.
Kita menyadari bahwa di balik tambang ilegal, ada faktor ekonomi dan sosial yang kompleks. Namun membiarkan rakyat menggali maut dengan tangan sendiri bukanlah solusi. Negara harus menghadirkan alternatif: baik melalui program pemberdayaan ekonomi hijau, regulasi pertambangan rakyat yang adil dan ramah lingkungan, maupun penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih.
Prof. Malle telah menyalakan api kesadaran. Kini, tinggal bagaimana api itu tidak padam tertiup angin politik, ketamakan elit, dan pembiaran birokrasi. Penyelamatan lingkungan dan generasi mendatang tidak bisa menunggu. Alam Maluku yang kaya bukan untuk dirusak demi keuntungan sesaat, melainkan diwariskan dalam keadaan sehat kepada anak cucu.
Sudah saatnya negara benar-benar hadir. Jangan tunggu hingga sungai terakhir mengering, dan anak-anak kita hanya mengenal ikan dari gambar di buku sekolah.
Kaperwil Maluku (SP)







