FOKUSPOST.COM | BANDA ACEH – Di bawah teriknya matahari pagi, aroma kari begitu nikmat datang dari halaman Masjid Al Mukarrahmah, Gampong Ateuk Munjeng, Banda Aceh. Ternyata, di sana sedikitnya ada 28 belanga besar berisi kuah beulangong yang sedang dimasak.
Di sana, ada Fajar Beizuri, 38 tahun, seorang juru masak tengah sibuk mengomandoi proses memasak kuah beulangon. Fajar adalah generasi ketiga dalam keluarga yang mendedikasikan diri untuk tradisi ini, meneruskan warisan kuliner ini setelah sang ayah wafat di tahun 2013.
Sejak saat itu, dialah yang bertanggung jawab atas kelezatan kuah beulangong yang dinikmati masyarakat dalam acara Nuzulul Quran di Masjid Gampong Ateuk Munjeng, Selasa 2 April 2024.
Saban tahun setelah 17 Ramadan, Fajar dan warga setempat bahu-membahu menyiapkan bahan dan memasak kuah beulangong. Jumlah belanga yang digunakan pun bervariasi, mulai dari 25 hingga 31, tergantung pada donatur dan uang yang terkumpul dari sedekah masyarakat.
Tahun ini, empat ekor lembu disembelih untuk diolah menjadi hidangan istimewa. Daging sapi dicincang dan dibumbui dengan rempah-rempah khas Aceh, menciptakan aroma yang menggoda selera.
Sejak pukul 07.00 WIB, Fajar dan para asistennya sudah sibuk di dapur. Api dinyalakan di bawah belanga-belanga besar, dan proses memasak pun dimulai. Diiringi lantunan ayat suci Al-Quran dari masjid, Fajar dengan cekatan mengaduk kuah beulangong, memastikan setiap bumbu meresap sempurna sesuai dengan resep yang sudah diwariskan keluarga kepadanya.
Beulangong-beulangong besar itu ditata rapi di atas tungku bekas drum besi besar. Uniknya, api besar yang menanakkan daging itu daging bukan semua berasal dari kayu utuh, melainkan serbuk-serbuk kayu yang dipadatkan, lalu di bawahnya diberikan beberapa potongan kayu kecil.
Api yang besar membuat belanga berisi 25 kg daging itu terus mengeluarkan aroma yang menggugah selera. Fajar menyebutkan proses memasak kuah beulangong membutuhkan waktu sekitar tiga jam hingga matang sempurna.
“Biasanya pukul 14.00 WIB semua kuah beulangong ini sudah masak, nanti hidangan ini dibagikan kepada masyarakat sekitar dan juga disajikan untuk berbuka puasa di masjid,” kata Fajar sembari sesekali menyeka keringatnya.
Kata dia, setiap satu belanga nantinya panitia akan membagikan untuk dua puluh lima kupon atau setara dengan 25 kartu keluarga yang ada di Ateuk Munjeng. Juga akan dibagi untuk anak yatim, dan para janda di gampong tersebut.
Bagi Fajar, memasak kuah beulangong bukan hanya tentang mengisi perut, tetapi juga tentang menjaga tradisi dan mempererat tali persaudaraan. “Ini adalah warisan budaya yang harus kita lestarikan, karna tradisi ini juga sebagai bentuk gotong royong masyarakat desa,” ungkapnya dengan penuh semangat.
Selain memperingati Nuzulul Quran, ia megatakan tradisi kenduri kuah beulangong ini juga kerap dilakukan saat perayaan maulid nabi di desa setempat.
Di tangan Fajar Beizuri, tradisi memasak kuah beulangong terus hidup dan berkembang. Semangatnya dalam melestarikan warisan kuliner ini menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus menjaga tradisi dan budaya Aceh.
(Kaperwil Aceh – Said Yan Rizal)