Wagub Abdullah Vanath: Bara Kerusuhan di Masa Lalu, Jangan Menyala di Masa Depan

Oleh: Muz MF. Latuconsina

 

Bacaan Lainnya

Saat Wakil Gubernur Maluku, H. Abdullah Vanath, berbicara di Namlea, 10 Agustus 2025, saat peletakan batu pertama PLHUT, suaranya bergetar, bukan karena lelah, tapi karena beban sejarah.

 

Ia mengingatkan, harmoni antarumat beragama di Maluku bukan sekadar slogan, melainkan nyawa kehidupan kita. Ia tidak ingin kebodohan masa lalu kembali menjadi warisan kelam untuk anak cucu saat ini dan masa depan.

 

Vanath bercerita tentang SMA Negeri 1 Ambon. Di sana, ia melihat pemandangan yang dulu terasa mustahil: anak-anak laki-laki dan perempuan, sebagian berhijab, menari bersama, tertawa tanpa curiga.

 

“Sampaikan salam saya pada orang tua kalian, Bapa, Mama, Tete, dan Nene,” katanya. “Bilang Wagub pesan, jangan ikut kelakuan kami dulu.

 

Kelakuan yang ia maksud adalah kebodohan yang pernah memisahkan kita membenci tetangga sendiri, membakar rumah sahabat, dan memutus silaturahmi yang diwariskan nenek moyang.

 

Kerusuhan Maluku 1999 adalah luka yang masih terasa. Kota Ambon kala itu berubah menjadi neraka di siang bolong.

 

Api melahap rumah-rumah, meninggalkan puing hitam dan bau kayu terbakar yang menyesakkan dada. Jalan-jalan penuh pecahan kaca, seng berkarat, dan sisa perabot rumah tangga yang gosong.

 

Di pelataran masjid dan gereja, orang-orang mengungsi, membawa tas plastik berisi pakaian seadanya, mata mereka kosong, tidak tahu harus ke mana.

 

Di tepi jalan, anak-anak menangis mencari orang tuanya. Jeritan perempuan memecah udara malam ketika suara letusan senjata dan bunyi bom terdengar dari kejauhan. Teman menjadi musuh, tetangga menjadi ancaman, dan nama Tuhan dijadikan alasan untuk saling melukai.

 

Sebelum itu, Teluk Ambon adalah lambang kemakmuran. Kapal-kapal ikan berjejer, perusahaan-perusahaan ramai mempekerjakan warga, dan orang dari desa berbondong-bondong datang mencari nafkah.

 

Setelah kerusuhan, semua itu sirna. Pengusaha pergi tanpa menoleh, modal mengalir keluar, dan sampai hari ini banyak yang enggan kembali.

 

Itulah harga dari kebodohan harga yang terlalu mahal. Kita kehilangan harta, kehilangan nyawa, kehilangan masa depan, dan yang lebih tragis: kehilangan rasa percaya.

 

Hari ini, kita membangun gedung-gedung megah dan fasilitas modern. Tapi apalah artinya semua itu, jika satu percikan kebencian mampu membakar habis apa yang telah kita bangun.

 

Api itu pernah menyala karena kelalaian kita, dan Vanath mengingatkan: jangan pernah memberi ruang untuk bara itu lagi.

 

Anak-anak kita pantas tumbuh tanpa warisan dendam. Mereka berhak bermain bersama tanpa takut warna baju atau simbol agama di kepala.

 

Maluku harus menjadi rumah damai, bukan medan pertempuran. Dan tugas kita adalah memastikan api yang pernah membakar kita—tidak pernah, sekalipun, menyala lagi.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *