Zaman Purbakala Itu Cuma Ada Dinosaurus dan Manusia Purba, Bukan Jou Waikabu

Pernyataan Elias Behuku bahwa Jou Waikabu Tamarpa “sudah ada sejak zaman purbakala” mengundang banyak tanya. Di tengah dinamika sejarah lokal Petuanan Kaiely di Pulau Buru, penting bagi kita semua untuk memisahkan fakta dari keyakinan emosional.

Di sinilah pernyataan Niko Nurlatu menjadi relevan: “Zaman purbakala itu cuma ada dinosaurus dan manusia purba.” Pernyataan ini bukan asal bicara—justru mengandung ajakan untuk berpikir jernih.

Bacaan Lainnya

Secara ilmiah, “zaman purbakala” merujuk pada masa praaksara, bahkan dalam konteks geologi bisa berarti jutaan tahun lalu, saat makhluk seperti dinosaurus mendominasi bumi, jauh sebelum manusia modern, apalagi struktur sosial seperti kerajaan atau adat, terbentuk.

Menempatkan tokoh adat seperti Jou Waikabu di era ini bukan hanya membingungkan, tapi juga membelokkan makna sejarah.

Niko tidak sedang menolak atau meremehkan keberadaan Jou Waikabu dalam sejarah lokal.

Ia justru mengajak publik untuk berhati-hati menggunakan istilah sejarah agar tidak terjebak dalam glorifikasi yang tidak berpijak pada kerangka waktu yang jelas.

Klaim sejarah, apalagi yang menyangkut identitas kolektif, harus dibangun di atas dasar bukti, logika, dan ketepatan istilah.

Sikap kritis ini bukan bentuk penolakan terhadap tradisi, melainkan bentuk kepedulian terhadap warisan leluhur yang seharusnya dijaga dengan akurasi dan penghormatan yang rasional.

Kalau benar Jou Waikabu memiliki akar sejarah yang panjang, maka tugas kita bukan memperkuatnya dengan mitos yang tak relevan, melainkan dengan data: arsip tertulis, tradisi lisan yang dapat diuji, atau kajian ilmiah yang mendalam.

Sebaliknya, mengangkat emosi sebagai dasar kebenaran sejarah justru bisa merusak upaya pelestarian itu sendiri. Sejarah yang baik adalah sejarah yang tahan diuji, bukan yang kebal terhadap kritik.

Penting juga untuk ditegaskan: berbeda pendapat bukan berarti tidak tahu sejarah.

Niko Nurlatu dalam hal ini justru mengingatkan kita semua bahwa sejarah bukan milik satu kelompok saja, tapi juga milik logika publik. Kita seharusnya menyambut perbedaan dengan diskusi terbuka dan argumentasi yang berdasar.

Daripada menyalahkan mereka yang bertanya, lebih baik kita ajak mereka berdialog dengan membawa bukti. Itulah cara yang beradab dalam menjaga dan menafsirkan sejarah bersama.

Mari jaga sejarah, tapi jangan asal gunakan istilah. “Zaman purbakala” bukan tempat bagi Jou Waikabu, apalagi jika yang kita maksud sebenarnya adalah era nenek moyang yang bisa ditelusuri secara masuk akal.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *