fokuspost.com-Krisis pencemaran merkuri di Kali Anhoni, kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku, bukan lagi sekadar isu lingkungan melainkan darurat ekologi yang mengancam kesehatan masyarakat secara langsung dan jangka panjang.
Jika tak segera diintervensi secara aktif, sistematis, dan terukur, kawasan ini terancam menjadi zona mati lingkungan dalam beberapa tahun ke depan.
Dr. Abraham H. Tulalessy, M.Si., pakar pencemaran lingkungan dan Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Pattimura (UNPATTI), menyampaikan peringatan keras atas kondisi Kali Anhoni yang masih tercemar berat oleh tailing berisi merkuri dan logam berat lainnya warisan kelam dari praktik tambang emas ilegal yang marak sejak lebih dari satu dekade silam.
“Tailing mengandung logam berat seperti merkuri (Hg) telah mengendap dalam jumlah besar. Ini bukan hanya mencemari air, tapi juga tanah dan rantai makanan. Kalau dibiarkan, anak-anak kita yang akan menanggung akibatnya dalam bentuk kerusakan saraf dan gangguan kesehatan kronis,” tegas Dr. Tulalessy dalam keterangannya, Senin (22/9/2025).
Akumulasi Pencemaran Sejak 2012
Lebih lanjut, Dr. Tulalessy mengungkapkan bahwa akumulasi merkuri di kawasan Gunung Botak dan DAS Anhoni telah berlangsung sejak tahun 2012, saat aktivitas pengolahan emas secara ilegal menggunakan merkuri (Hg) mulai masif dilakukan.
“Proses pengolahan emas menggunakan merkuri sudah terjadi selama lebih dari sepuluh tahun. Artinya, pencemaran ini sudah terakumulasi lama dan tidak bisa dianggap sepele. Ini bom waktu bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat Buru,” jelasnya.
Pemerintah Tak Bisa Sendiri: Swasta Harus Terlibat
Dr. Tulalessy juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor, terutama keterlibatan pihak swasta dalam mendukung pemulihan ekosistem Kali Anhoni. Menurutnya, upaya penyelamatan lingkungan tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah.
“Yang kita butuhkan sekarang bukan lagi seminar dan wacana. Kita butuh langkah konkret. Swasta yang punya kapasitas finansial dan teknologi harus ikut memikul beban ini. Jangan biarkan masyarakat lokal menanggung akibat dari kerusakan yang bukan mereka buat,” ujarnya.
Pemulihan Harus Ilmiah, Sistematis, dan Transparan
Dr. Tulalessy menekankan bahwa proses pemulihan tak bisa dilakukan secara sporadis. Diperlukan peta jalan (roadmap) yang jelas dan berbasis data ilmiah. Mulai dari penerapan teknologi pengolahan tailing tertutup, revegetasi kawasan kritis, hingga monitoring kualitas air, tanah, dan biota secara periodik.
“Harus ada sistem dan struktur. Siapa melakukan apa, dengan pendanaan dari mana, dan bagaimana pertanggungjawabannya. Transparansi itu penting agar masyarakat percaya bahwa pemulihan benar-benar dilakukan, bukan sekadar proyek seremonial,” jelasnya.
Libatkan Pemilik Lahan dalam Proses Penataan
Tak kalah penting, menurut Dr. Tulalessy, proses penataan dan perbaikan lingkungan di kawasan Gunung Botak dan Kali Anhoni juga harus melibatkan para pemilik lahan secara aktif. Mereka merupakan bagian dari ekosistem sosial yang tak bisa diabaikan.
“Pemilik lahan perlu diajak bicara, dilibatkan dalam setiap tahapan rencana dan pelaksanaan pemulihan. Mereka bukan hanya penonton, tapi juga pemangku kepentingan langsung. Tanpa keterlibatan mereka, pendekatan apa pun akan sulit berkelanjutan,” tambahnya.
Kaperwil Maluku (SP)