Fluktuasi Parpol dari Pemilu ke Pemilu Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA, Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura

Manusia pada dasarnya tidak dapat sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dia akan membentuk suatu kelompok yang kemudian disebut organisasi, apapun bentuk kelompok itu. Manusia adalah pendukung utama setiap organisasi.

Ciri peradaban manusia dalam masyarakat ditandai dengan keterlibatannya dalam suatu organisasi tertentu.

Bacaan Lainnya

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa organisasi-organisasi dibentuk oleh manusia.

Tujuannya untuk melaksanakan atau mencapai hal-hal tertentu, yang tidak mungkin dilaksanakan secara individual.

Secara global terdapat berbagai macam organisasi, antara lain : organisasi sosial, agama, olahraga, sekolah, mahasiswa, perempuan, pemuda/pemudi, anak-anak, petani, buruh, nelayan, politik, dan berbagai macam organisasi lainnya.

Semua organisasi-organisasi tersebut, tentunya memiliki tugas dan pokok (tupoksi), yang sesuai dengan latarbelakang organisasi-organisasi dimaksud.

Secara spesifik, organisasi adalah sebuah wadah untuk menampung orang-orang dan objek-objek, orang-orang dalam organisasi yang berusaha mencapai tujuan bersama.

Dalam konteks itu, maka organisasi partai politik (parpol) juga memiliki tujuan. Dimana partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.

Tujuan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik atau merebut kedudukan politik secara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan umum. (Faules, Wayne 1998, Budiarjo 2013, Zainal, Hadad, Ramly 2014,).

Dalam perspektif pemikiran Weber (1959) sebagaimana dikutip Firmanzah (2008) bahwa, partai politik sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut.

Cara untuk membawa pemimpinnya berkuasa, salah satunya dapat dicapai melalui agenda Pemilihan Umum (Pemilu).

Disamping itu juga bisa melalui pengangkatan pengurus atau kader partai politik dalam suatu jabatan eksekutif dan yudikatif di tingkat pusat, provinsi hingga ke kabupaten/kota.

Hal ini lazim dilakukan oleh pemerintah yang telah dikuasai oleh para pimpinan partai politik, karena memenangkan Pemilu dengan suara yang signifikan.

Urgensi Koordinasi Parpol
Salah satu aspek penting yang relevan dengan suksesnya pemenangan organisasi partai politik dalam Pemilu yakni, koordinasi.

Hal ini dikarenakan dengan koordinasi partai politik memiliki kewenangan untuk menggerakkan, menyerasikan, menyelaraskan, dan menyeimbangkan kegiatan-kegiatan yang spesifik atau berbeda-beda agar semuanya terarah pada tujuan tertentu.

Menurut Ndraha (2003) secara fungsional koordinasi dilakukan guna untuk mengurangi dampak negatif spesialisasi dan mengefektifkan pembagian kerja.

Dalam konteks pusat hingga daerah di tanah air, tatkala tahun 2024 lalu, organisasi partai politik peserta Pemilu 2024 juga senantiasa memperhatikan pelaksanaan koordinasi dalam rangka pemenangan Pemilu keenam kalinya pasca era Orde Baru tersebut.

Pasalnya pelaksanaan koordinasi menjadi aspek determine, yang berperan mengintegrasikan atau menyatupadukan berbagai aspek substansi, dan teknis secara internal dan eksternal, untuk mencapai kesuksesan dalam perhelatan Pemilu tahun 2024.

Fakta menunjukan meskipun suatu organisasi partai politik berulang kali memenangkan Pemilu di tanah air, tapi pada suatu waktu partai politik tersebut gagal memenangkan Pemilu,

Yang digelar pada periode lima tahun berikutnya, sejak Pemilu pertama 1955 hingga terakhir Pemilu 2024. Ini merupakan fenomena fluktuasi partai dari Pemilu ke Pemilu.

Fluktuasi Parpol Dalam Pemilu
Kondisi ini bisa dilihat pada dinamika Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, dan Partai Demokrat (PD).

Dimana tidak sepanjang massa, dengan abadi dapat memenangkan Pemilu di Indonesia. Hal ini disebabkan manajemen organisasi partai politik, yang tidak efektif dan efesien dari sisi pelaksanaan koordinasi.

Disamping dinamika politik internal dan eksternal, yang turut mempengaruhi gagalnya organisasi partai politik tersebut, dalam memenangkan Pemilu.

Kendati partai-partai politik tersebut mengalami dinamika kemenangan dalam Pemilu, dan pada Pemilu-Pemilu berikutnya mengalami kekalahan.

Tapi tidak selamanya partai-partai politik tersebut mengalami kekalahan dalam Pemilu, melainkan sebaliknya dapat bangkit, dan kemudian memenangkan Pemilu.

Misalnya saja PNI meraih kemenangan dalam Pemilu 1955 di era rezim Orde Lama (Orla), dimana meraih 8.434.653, suara. Pada posisi kedua ditempati MASYUMI, dengan meraih 7.903.886 suara. Pada posisi ketiga ditempati Partai Nahdlatul Ulama (NU), dengan meraih 6.955.141 suara.

Pada Pemilu 1971 di era Orde Baru (Orba) PNI mengalami kekalahan pada Pemilu 1971, dengan menempati posisi keempat dimana hanya meraih 3.793.266 suara.

Sementara pada Pemilu pertama di ere rezim Orde Baru (Orba) tersebut pemenangnya adalah GOLKAR yang saat itu enggan diidentikan sebagai partai politik, dengan meraih 34.348.673 suara,

Pada posisi kedua ditempati Partai NU, dengan meraih 10.213.650 suara, Sedangkan pada posisi ketiga ditempati Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), dengan meraih 2.930.746 suara.

Fenomena kemenangan GOLKAR terus berlanjut, dimana sejak Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 sampai dengan Pemilu 1997.

Menjelang pelaksanaan Pemilu 1977, Pemerintah melakukan fusi terhadap partai politik peserta Pemilu.

Hal ini terjadi pada tahun 1973. Partai-partai politik beraliran nasionalis, keagamaan (Protestan,Katolik), terdiri dari : Partai Kristen Indonesia (PARKINDO),

Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan (IPKI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA), Partai Katolik, dan PNI difusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sedangkan partai-partai politik beraliran Islam, tediri dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI), PARMUSI, dan Partai NU difusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sehingga sejak Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 sampai dengan Pemilu 1997 pesertanya hanya tiga kontestan Pemilu, yakni : PPP, Golkar dan PDI. Pada Pemilu 1977 GOLKAR meraih 39.750.096 suara. Pada pososi kedua ditempati PPP dengan meraih 18.743.491 suara. Sedangkan pada posisi ketiga ditempati PDI dengan hanya meraih 5.504.757 suara.

Selanjutnya pada Pemilu 1982 GOLKAR kembali lagi berjaya, dengan meraih 48.334.724 suara, PPP meraih 20.871.880 suara, PDI meraih 5.919.702 suara.

Kemudian pada Pemilu 1987 GOLKAR tetap tak terbendung, yang tampil lagi sebagai pemenang dengan meraih 62.783.680 suara.

Pada posisi kedua kembali lagi ditempati PPP dengan meraih 13.701.428 suara. Sementara PDI tetap stagnan diposisi ketiga, dengan hanya meraih 9.384.708 suara.

Dalam Pemilu 1992 GOLKAR tetap terdepan, dengan kembali lagi memang kan Pemilu kelima di era Orba tersebut, dengan meraih 66.599.331 suara.

Pada posisi kedua ditempati PPP dengan meraih 16.624.647 suara. Pada posisi ketiga kembali lagi ditempati PDI, dengan hanya meraih 14.565.556 suara.

Berikutnya pada Pemilu 1997 GOLKAR lagi-lagi menang, dengan meraih 84.187.907 suara. Pada posisi kedua PPP dengan meraih 25.340.028 suara.

Sementara PDI tetap stagnan pada posisiketiga, dengan meraih3.463.225 suara.

Kemenangan GOLKAR dalam enam kali Pemilu di era Orba tersebut, karena disokong oleh Pemerintah melalui keberpihakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terhadap GOLKAR.

Pemilu era Orba tidak fair and flay terhadap PPP sebagai kekuatan politik kelompok Islam, dan PDI sebagai kekuatan kelompok nasionalis, dan keagamaan (Protestan, Katolik).

Bahkan Pemerintah kala itu mengkoordinasi kedua partai tersebut, mulai dari pengurus dari tingkat pusat hingga daerah, dimana harus merupakan orang-orang yang dekat atau disetujui Pemerintah.

Pada tahun 1998 merupakan tahun yang panas dalam perpolitikan nasional kala itu.

Hal ini ditandai dengan krisis moneter, demonstrasi mahasiswa memuncak, yang menuntut reformasi di segala bidang.

Puncaknya Presiden Soeharto pun mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Ia lantas digantikan Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Habibie kemudian mempersiapkan Pemilu 1999, yang dilaksanakan pada 7 Juni 1999.

Pada Pemilu pertama di era Reformasi tersebut, diikuti oleh 48 partai politik, yang menandai Indonesia memasuki sistem multi partai ekstrim, dimana partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan.

Pada Pemilu 1999 GOLKAR sudah bertransformasi menjadi partai politik, dengan penyebutan partai didepan nama partai politik, yang berlogo pohon beringin tersebut.

Sudah bisa diduga, lantaran merupakan partai peninggalan rezim Orba Partai GOLKAR mendapat citra yang buruk di mata warga masyarakat.

Akibatnya mengalami kekalahan, dengan hanya meraih 23.741.758 suara, yang menempati posisi kedua perolehan suara. Pada posisi ketiga ditempat PPP dengan meraih 11.329.905 suara.

Sementara PDI Perjuangan meraih kemenangan pada Pemilu pertama di era Reformasi tersebut, dengan meraih 35.689.073 suara.

Meski citra Partai GOLKAR tidak baik pada Pemilu 1999, namun partai warisan rezim Orba ini dapat bangkit, dengan memenangkan Pemilu 2004, dengan meraih 24.480.757 suara.

Sedangkan PDI Perjuangan harus puas diurutan kedua, dengan hanya meraih 21.026.629 suara. Adapun pada urutan ketiga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan meraih 11.989.564 suara.

Dalam dinamiknya Partai GOLKAR tidak bisa mempertahankan kemenangannya pada Pemilu berikutnya 2009, dimana hanya meraih 15.037.757 suara.

Pasalnya pada Pemilu 2009 hasilnya dimenangkan oleh PD, partai politik pendatang baru, yang baru dibentuk pada tahun 2001, dengan meraih 21.703.137 suara.

Sementara pada posisi ketiga adalah PDI Perjuangan, yang hanya meraih 14.600.091 suara.

Dalam perkembangannya, meskipun pelaksanaan Pemilu berikutnya yakni, Pemilu 2014 dilaksanakan saat PD menguasai Pemerintahan, dengan Ketua Umumnya Jenderal Hot. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden Republik Indonesia ke-6.

Namun PD tidak dapat memenangkan Pemilu keempat pasca Orba tersebut, dimana suaranya anjlok dengan menempati urutan keempat, dengan meraih 12.728.913 suara.

Pemenang Pemilu 2014 adalah PDI Perjuangan dengan meraih 23.681.471 suara. Sementara Partai GOLKAR sebagai runner up, dengan meraih 18.432.312 suara.

Pada posisi ketiga ditempati Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) dengan meraih 14.760.371 suara.

Pada dua kali Pemilu berikutnya yakni, Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 partai politik berlogo banteng kekar hitam bermoncong putih ini masih menunjukkan kehebatannya, dengan memenangkan dua Pemilu tersebut.

Pada Pemilu 2019 PDI Perjuangan meraih 27.503.961 suara. Pada posisi kedua ditempati Partai GOLKAR dengan meraih 17.229.789 suara. Sedangkan pada poisisi ketiga ditempati Partai GERINDRA dengan meraih 17.596.839 suara.

Selanjutnya pada Pemilu 2024 PDIP perjuangan meraih kemenangan, dengan meraih 25.387.279 suara. Pada posisi kedua ditempati Partai GOLKAR dengan meraih 23.208.654 suara.

Sementara itu pada Pemilu terakhir ini lagi-lagi menempatkan Partai GERINDRA pada posisi ketiga perolehan suara, dengan meraih 20.071.708 suara.

Hal ini menunjukan dalam 15 tahun, yakni sejak diselenggarakan Pemilu 2004, Pemilu 2019, dan Pemilu 2024 partai politik, yang dipimpin Jenderal Hor. Prabowo Subianto selalu bertengger pada posisi ketiga perolehan suara Pemilu secara nasional. (kompas.com, 2022, KPU RI, 2024, detik.com,2024).

Proyeksi Pemenang Pemilu 2029
Terlepas dari itu, dalam proyeksinya partai politik manakah yang akan memenangkan Pemilu 2029 mendatang ?.

Hanya tiga partai politik, yang diproyeksikan memiliki peluang untuk memenangkan Pemilu 2029 mendatang.

Pertama, adalah Partai GERINDRA, sebagai partai yang tengah berkuasa akan menggunakan kekuatan negara (state), untuk memenangkan Pemilu 2029 nanti.

Hal ini sebagai bekal untuk Prabowo Subianto mendapat tiket guna bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029, dengan tampil sebagai pimpinan partai koalisi, dengan target memenangkan Pilpres 2029 tersebut.

Kedua, adalah PDI Perjuangan, sebagai partai yang memenangkan empat kali Pemilu era Reformasi dan pasca Reformasi yakni, Pemilu 1999, 2014, 2019, dan Pemilu 2024.

Peluang PDI Perjuangan terbuka lebar untuk memang kan Pemilu 2029 mendatang.

Namun semuanya tergantung pada arena praktis yang mereka geluti, yakni oposisi terhadap Pemerintah yang berkuasa, dengan membela kepentingan publik warga masyarakat (wong cilk),

sebagaimana haluan ideologinya selama ini. Sehingga mendapat tempat dihati warga masyarakat, untuk memilih partai ini dalam Pemilu.

Dapat dipastikan jika nanti PDI Perjuangan memenangkan Pemilu 2029, mereka akan tampil dalam Pilpres 2029 mendatang.

Tapi tentunya dengan mengusung figur Calon Presiden (Capres)-Calon Wakil Presiden (Cawapres), yang berasal dari trah Soekarno maupun kader PDI Perjuangan, yang memiliki popularitas sebagai modal untuk memenangkan Pilpres 2029 mendatang.

Meskipun demikian, jalan ke arah pemenangan tersebut, tidaklah mudah. Sebab berbagai dinamika ruwet secara internal dan eksternal, menghadapi masa transisi kepemimpinan ketua umumnya pasca kepemimpinan Megawati Seokarno Putri kelak.

Ketiga adalah Partai Golkar, sebagai partai politik warisan Orba yang kenyang pengalaman dalam panggung politik di Indonesia, dengan memenangi enam kali Pemilu era Orba yakni :

Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan Pemilu 1997. Begitu pun Partai Golkar memenangi satu kali Pemilu di era Reformasi yakni : Pemilu 2004.

Sisahnya tampil sebagai runner up dalam lima kali Pemilu di era Reformasi dan pasca Reformasi yakni : Pemilu 1999, 2009, 2014, 2019, dan Pemilu 2024.

Melihat statistik kemenangan tersebut, tentu Partai Golkar memiliki peluang untuk memenangkan Pemilu 2029 mendatang.

Walaupun demikian, tidak halnya dengan Pilpres 2029 mendatang, dimana Partai Golkar dipastikan akan tampil mengusung kadernya sebagai Capres-Cawapres.

Namun dalam dinamika politik, pada akhirnya partai politik, yang cikal bakalnya hadir dari kolaborasi gagasan tiga tokoh yakni : Soekarno, Soepomo dan Ki Hajar Dewantara di tahun 1940 lampau ini, akan berkoalisi untuk mengusung Capres-Cawapres dari partai politik lain.

Hal ini berdasarkan pengalaman rill partai ini, yang tampil dalam Pilpres 2004, dimana mengusung Capres-Cawapres Wiranto-Salahuddin Wahid tapi kalah.

Begitu pula pada Pilpres 2009 mengusung Capres-Cawapres Jusuf Kalla-Wiranto juga kalah.

Pada Pilpres 2014 Partai Golkar mengusung non kades yakni, Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, namun lagi-lagi mengalami kekalahan.

Pada Pilpres 2019 Partai Golkar beruntung, dimana meski tidak mencalonkan kadernya, tapi sukses memenangkan Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Selanjutnya, pada Pilpres 2019 Partai Golkar mengusung non kader yakni, Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dimana juga sukses meraih kemenangan.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *