Saya Bukan Marxis

Oleh; Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura

Mendahuluinya meminjam ungkapan kontemplatif Ilham Gunawan.

Bacaan Lainnya

Ia merupakan seorang penulis Indonesia, yang populer melalui karyanya berjudul : “Rindu Rezim” yang dipublis di tahun 2024 lalu. Ia mengatakan bahwa, “Ideologi akan berakhir, jika ia hanya sekadar jargon dan sebatas dimumikan sebagai kesadaran palsu…

” Ungkapan Ilham Gunawan tersebut berkaitan dengan artikel ini, yang menyangkut dengan ideologi. Ideologi merupakan sesuatu yang urgen, dimana mencakup keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah yang dianut oleh individu dan rakyat pada suatu negara.
***

Terlepas dari itu, setiap figur para elite negara sedari awal cita-cita menuju Indonesia merdeka, sudah dapat diketahui masing-masing memiliki haluan ideologi.

Haluan ideologi yang dianutnya tersebut diantaranya : Nasionalis, Islam, Kristen, Sosialis, Komunis, miks Islam Nasionalis, Kristen Nasionalis, Sosialis Islam, Sosialis Kristen yang identik dengan nasionalis religius, dan sosialis religius serta juga miks Komunis Islam .

Ideologi-ideologi tersebut merupakan instrumen politik, yang digunakan dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia (NKRI), dan instrument dalam interaksi politik dalam panggung politik nasional, yang sesuai dengan konteks zamannya.

Sebut saja Soekarno berideologi nasionalis, Abdul Wahid Hasyim berideologi Islam, Johannes Leimena berideologi Kristen, Sutan Sjahrir berideologi Sosialis, Ki Bagus Hadikusumo berideologi Islam Nasionalis,

Alexander Andries Maramis berideologi Kristen Nasionalis, Mohammad Natsir berideologi Sosialis Islam, Tan Ling Djie berideologi Sosialis Kristen, dan Achmad Dasuki Siradj berideologi Komunis Islam.

Ideologi para elite bangsa yang beragam, dan campuran tersebut sebagai manifestasi dari dinamika perkembangan ideologi-ideologi ini di tanah air, di sekitar tahun 1912 sampai dengan tahun 1914 lampau.

Keberagaman ideologi tersebut, juga merupakan fenomena rill dari kemajemukan kita di tanah air.

Lantas yang menjadi pertanyaan apa ideologi yang dianut Mohammad Hatta Kepala Kepala Negara/Pemerintahan Republik Indonesia periode 1945-1956 dan Kepala Pemerintahan Republik Indonesia periode 1948-1949 ?.

Dari berbagai pemikiran Mohammad Hatta, yang nampak untuk kepentingan kesejahteraan banyak orang atau rakyat di tanah air, dengan mengedepankan prinsip kesamarataan (egaliter) dalam politik dan perekonomian nasional, maka ia dikategorikan memiliki ideologi Sosialis Demokrat.

Misalnya saja, Hatta percaya bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan satu orang saja. Ia juga menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus sesuai dengan kondisi dan karakter masyarakat Indonesia, bukan sekadar meniru model demokrasi barat.

Begitu pula, Hatta berpendapat bahwa demokrasi politik saja tidak cukup, harus ada demokrasi ekonomi dan sosial untuk mencapai persamaan dan persaudaraan. Keadilan sosial menjadi fondasi penting dalam membangun negara yang adil dan sejahtera. (Jalil 2021, Setneg2024).

Relevan dengan itu, Frans Magnis Suseno (1991) dalam karyanya yang berjudul : “Filsafat Sebagai Ilmu Kritik” mengatakan bahwa, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu.

Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaan.

Secara substantif telah dipaparkan dalam pengertian ideologi tersebut. Hal ini menandaskan kepada kita bahwa, para elite bangsa tersebut menganut ideologi, yang terintegrasi didalamnya keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah,

Yang digunakan oleh para elite bangsa secara individu dan kelompok, yang memiliki tujuannya untuk kepentingan rakyat banyak, demi mencapai cita-cita besar Negara Republik Indonesia (NKRI), yang berdaulat, adil, dan makmur.

Masih berkaitan dengan pemaparan menyangkut dengan ideologi tersebut. Hal menarik yakni, menyangkut dengan statemen

“saya bukan Marxis”, yang menjadi tema artikel ini, sebenarnya bukan dilontarkan oleh Mohammad Hatta Wakil Kepala Kepala Negara/Pemerintahan Republik Indonesia periode 1945-1956 dan Kepala Pemerintahan Republik Indonesia periode 1948-1949,

Melainkan dilontarkan oleh Karl Marx (1818-1883) sosok multi talenta, yang dikenal sebagai seorang filsuf, ekonom, sejarawan, pembuat teori politik, sosiolog, jurnalis dan sosialis revolusioner berkebangsaan Jerman.

Ungkapan ini di konstruksi kan kembali oleh Daniel Dhakidae dalam pengantar buku Hatta, yang berjudul “Mohammad Hatta Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977) yang di publish pada tahun 2015 lalu, sebagai respons perseteruannya dan pembelaan dirinya tatkala berpolemik dengan para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1938, yang berawal dari tulisannya dalam Sin Tit Po, ketika dia berada dalam pengasingannya di Banda Naira (Maluku). Ini menjadi polemik keras yang jarang diangkat ke ruang publik politik bangsa ini.

Polemik ini sebenarnya tidak di maksudkan Hatta sebagai perang kata-kata. Tulisan tahun 1938 tersebut adalah semacam kelanjutan dari pidato pergantian kepemimpinan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang diucapkan 16 tahun berselang di Belanda yaitu memahami “kosmos ekonomi dan konflik kekuasaan”.

Menurut Hatta mengenai menjadi Marxis atau bukan Hatta membuka jawabannya dengan mengutip Marx sendiri yang mengatakan “saya bukan Marxis”, “Ik ben geen Marxist” ; kalau Marx sendiri bukan Marxis, siapa yang lebih Marxis dari Marx ?.

Dalam hubungan itu Hatta menegaskan bahwa ada tiga jalan bagi seseorang untuk menjadi Marxis :

pertama, Marxisme sebagai watenschappelijke werk method, metode kerja keilmuan ;

Kedua, sebagai politieke leer, ajaran politik ;

Ketiga, sebagai wereldbeschouwing, pandangan dunia. Dari ketiganya, sebagai pengagum Marx, Hatta mengatakan dia hanya berminat memakai Marxisme sebagai metode kerja keilmuan dan tidak berminat menjadi komunis.

Beranjak dari pemikiran Hatta tersebut, terkadang kebanyakan dari kalangan awan menyamaratakan individu-individu yang mempelajari tentang pemikiran Marx.

Pada akhirnya individu-individu yang mempelajari tentang pemikiran Marx, secara subyektif dikatakan sebagai seseorang yang berhaluan Marxisme.

Bahkan ia secara subyektif juga disebut sebagai seorang komunis. Padahal mirip dengan perspektif Hatta, dimana dia hanya berminat memakai Marxisme sebagai metode kerja keilmuan dan tidak berminat menjadi komunis.

Kaperwil Maluku (SP

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *