Menteri Bahlil Lahadalia: Kritik Boleh, Tapi Jangan Lupa Etika

Edirorial Redaksi

Dalam era digital dan keterbukaan informasi seperti sekarang, kritik terhadap pejabat publik merupakan hal yang wajar, bahkan penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Namun, kritik yang sehat tentu harus dibedakan dari serangan pribadi yang berbau rasis atau menghina.

Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menjadi pengingat akan batas antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian.

“Kalau ada yang meme-meme, sudahlah saya maafkan. Tidak apa-apa. Sebenarnya kalau kritisi kebijakan itu tidak apa-apa. Tapi kalau sudah pribadi, sudah mengarah ke rasis, itu menurut saya tidak bagus,” ujarnya.

Pernyataan ini mencerminkan sikap yang dewasa dan terbuka terhadap kritik.

Seorang pejabat publik memang harus siap menghadapi sorotan dan penilaian dari masyarakat.

Namun, publik pun perlu menyadari bahwa kebebasan berpendapat tidak berarti bebas menghina atau menyerang aspek pribadi seseorang, apalagi dengan nada rasis.

Kritik terhadap kebijakan adalah bagian dari demokrasi. Ia berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan pengingat agar kebijakan yang diambil tetap berpihak pada kepentingan rakyat.

Tetapi ketika kritik berubah menjadi ejekan bernuansa etnis atau pribadi, esensi demokrasi justru tercoreng oleh tindakan tidak beradab.

Media sosial sering kali menjadi medan utama perdebatan publik. Di sinilah pentingnya literasi digital dan kesadaran etika berkomunikasi.

Mengkritik boleh, menyindir pun sah, asalkan tidak keluar dari batas kesopanan dan kemanusiaan.

Dalam konteks ini, sikap memaafkan yang ditunjukkan Bahlil layak diapresiasi.

Ia menunjukkan bahwa pemimpin yang kuat bukan hanya yang tahan kritik, tetapi juga yang mampu menanggapi dengan kepala dingin dan hati lapang.

Namun, di sisi lain, masyarakat perlu belajar bahwa ruang publik, baik daring maupun luring, seharusnya menjadi tempat bertukar gagasan, bukan menyebar kebencian.

Demokrasi yang sehat tumbuh dari kritik yang beretika. Ketika pemerintah terbuka terhadap masukan, dan masyarakat mampu menyampaikannya dengan cara yang bermartabat, di situlah kematangan bangsa benar-benar teruji.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *