Memulai catatan ini, saya mengutip kata-kata khas, yang diungkapkan oleh Aiman Bagea, seorang novelis muda kelahiran di Kabaena Sulawesi Tenggara, 1 September 1992,
Yang populer melalui novelnya berjudul : “Sebuah Kisah Tentang Merelakan”, yang dipublis tahun 2012 lalu bahwa, “ada banyak orang di dunia ini yang bertemu secara kebetulan”. Rupanya, kata-kata khas sastrawan Kabaena itu, sangat pas menggambarkan pertemuan yang tak terduga saya dengan abi Muh Ali Zeed Basalamah,
Seorang warga Makassar keturunan Arab, yang berprofesi sebagai sopir grab. Suatu pertemuan yang kemudian membicarakan keberadaan orang Arab di Makassar.
Terlepas dari itu, Makassar yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan salah satu kota terbesar kedua di luar Pulau Jawa, setelah Kota Medan di Provinsi Sumatera Utara.
Lazimnya Kota yang padat penduduknya, maka penduduknya juga majemuk, diantaranya yang signifikan adalah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, dan Cina.
Sementara yang tidak signifikan yakni Jawa, Buton, Arab, Timor, Bali, Sunda, Minahasa, Batak, Ambon, dan Papua.
Kehadiran etnik-etnik ini seiring dengan perkembangan kota ini, menjadi kota perdagangan dan pendidikan di ujung timur wilayah Indonesia.
Tidak terkecuali orang Arab, keberadaan orang Arab sudah sejak dahulu kala. Pada Minggu sore, 23 Juni 2019 beberapa tahun lalu, tatkala saya hendak mengunjungi Mall Ratu Indah, yang terletak di Jalan Dr. G.S.J. Ratulangi, saya pun memesan mobil grab melalui hand phone (HP) android,
Tidak lama berselang pesanan mobil grab pun muncul di layar Hp android, disertai nama sopirnya Muh Ali Zeed Basalamah.
Saat dia menelpon memastikan posisi saya, saya pun katakan “ia abi saya menunggu di depan hotel”. Lima menit kemudian abi sang sopir grap sudah tiba di depan hotel tempat saya menunggu.
Ciri khas abi Ali benar-benar orang Arab, pasalnya berjenggot dan brewokan tipis pada dagu serta pipinya layaknya kebanyakan orang Arab yang kita temui dimana saja.
Didalam mobil grab, yang dibawa abi Ali melewati ruas Jalan Andi Jema, Anoa, dan Jalan Lanto Daeng Pasewang dengan agak ngebut itu, kita berdua sempat bercakap-cakap.
Saya pun bertanya, “abi Ali orang Arab dari Makassar yah ?” dia katakan “saya sebenarnya orang Arab bermarga Basalamah, yang berasal dari Gorontalo, hanya saja sudah menetap lama di Makassar”. Saya katakan kepadanya di Ambon juga banyak orang Arab yang bermarga Basalamah.
Kata abi Ali “benar saya sudah tahu di Ambon banyak orang Arab yang bermarga Basalamah”.
Dia rupanya sudah sejak lama ingin mengunjungi Ambon, karena menurutnya di Ambon banyak keluarganya yang bermarga Basalamah.
Abi Ali pun menanyakan “apa saja profesi mereka disana ?”, saya katakan “ada pedagang, pengusaha, pegawai dan dosen, yang rata-rata sukses”.
Lantas saya bertanya lagi “apa di Makassar ada perkampungan Arab, yang khusus didiami orang Arab ? jawabnya, dulunya ada perkambungan orang Arab di Jalan Lombok yang berdekatan dengan Pelabuhan Makassar, namun kini tidak ada lagi”.
Setelah bercakap-cakap di mobil grab itu, tak lama berselang mobil grab nya abi Ali berhenti didepan Mall Ratu Indah.
Saya pun membayarkan tarif mobil grab nya, dia lantas mengucapkan terima kasih, dan saya balik berkata “sama-sama abi Ali”.
Meskipun hanya pertemuan singkat, tapi abi Ali telah memberikan informasi tentang keberadaan orang Arab di Makassar.
Untuk memastikan keberadaan orang Arab di Makassar, saya pun membaca artikel Jumadi Mapanganro kawan saya, yang dahulu kami sama-sama aktif di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Dalam pemaparan sahabat saya Mapanganro (2009) pada artikelnya, yang berjudul
“Dari Hadramaut Sebarkan Islam di Makassar” bahwa, keberadaan para keturunan Arab di kota ini awalnya banyak bermukim di sekitar Jl Lombok, Jl Nusantara, dan beberapa titik di Kecamatan Wajo.
Namun seiring perkembangan kota dan kedatangan penduduk dari luar Makassar, banyak keturunan Arab itu kemudian hidup berpencar.
Jumlah warga keturunan Arab yang berdomisili di Makassar saat ini diperkirakan sekitar 200 kepala keluarga.
Guna terus mempererat hubungan persaudaraan di antara mereka, komunitas ini kerap melakukan kegiatan pengajian rutin.
Salah satu simbul, yang menunjukan orang Arab pernah mendiami Jalan Lombok, ditandai dengan keberadaan Masjid As-Said di jalan itu.
Masjid ini sering disebut sebagai Masjid Arab, dimana memiliki keunikan tersendiri. Masjid yang dibangun pada 1907 ini merupakan cagar budaya yang dibangun oleh orang Arab yang datang ke Makassar untuk menyebar agama Islam dan berdagang.
Masjid As-Said biasa disebut orang di sini sebagai Masjid Arab. Karena yang bangun pada saat itu orang Arab yang datang dari Yaman pada tahun 1800 untuk syiar Islam dan berdagang.
Rata-rata pekerjaan orang Arab di Makassar, tidak lagi hanya berdagang atau sebagai penyiar Islam sembari berdagang, seperti kakek- nenek mereka di awal menjejakkan kaki di Makassar dahulu kala. Kini pekerjaan orang Arab di Makassar cukup beragam, antara lain ;
Pedagang, mubaligh, akademisi, birokrat, hingga militer, dan sejumlah pekerjaan lainnya dijalani orang Arab.
Hal ini menunjukan bahwa, orang Arab di Makassar telah bertransformasi profesinya mengikuti dinamika perkembangan kota di ujung timur wilayah Indonesia ini dari waktu ke waktu.
Mengakhiri catatan ini, saya mengutip ungkapan John Alan Lasseter, yang populer disapa John Lasseter,
Seorang sutradara berkebangsaan Amerika Serikat, kelahiran Hollywood, California, 12 Januari 1957 bahwa, “catatan dari saya tak lebih penting dari catatan penulis cerita misalnya”..Memaknai secara kontemplatif ungkapan itu,
Maka tentunya, catatan saya ini hanyalah sebuah travel writing, tentang suasana di Makassar yang disadari tidak utuh, tapi bisa sedikit memberikan informasi tentang komunitas keturunan Hadramaut dari Yaman di Makassar.
Kaperwil Maluku (SP)