Pelukan Kapolres Buru dan Perempuan Penambang GB: Jalan yang Menuntun Kita Pulang

Oleh: Muz Latuconsina.

Di tengah hiruk-pikuk ketegangan antara masyarakat penambang dan aparat gabungan TNI–Polri bersama pemerintah daerah, terselip sebuah momen yang menembus batas kerasnya konflik.

Bacaan Lainnya

Ketika barisan manusia berdiri saling berhadapan emosi memuncak, suara meninggi, dan ketidakpastian menggantung di udara tiba-tiba seorang perempuan penambang melangkah maju.

Ia menangis, tubuhnya bergetar, lalu memeluk seorang ibu berseragam: Kapolres Buru, Sulastri Sukidjang, SH, S.I.K. MM.

Dalam sekejap, suara kemarahan mereda. Langkah-langkah berhenti. Dunia seakan menahan napas.

Pelukan itu bukan hanya rangkulan dua perempuan, melainkan seruan paling jujur tentang kepedihan, tentang ketakutan, tentang kerinduan akan didengarkan.

Pelukan itu mematahkan narasi bahwa masyarakat dan aparat selalu harus menjadi dua sisi berseberangan. Ia mengingatkan kita bahwa sebelum berseragam, sebelum menjadi bagian dari institusi, semua orang adalah manusia: yang punya keluarga, punya harapan, dan punya luka.

Ketika seorang ibu penambang menangis dalam pelukan Kapolres, ia sebenarnya sedang memeluk negara. Ia sedang berkata: “Dengarkan kami. Lihat kami. Kami bukan musuh. Kami hanya ingin hidup.” Dan ketika Kapolres membalas pelukan itu, negara merespons dengan empati—sesuatu yang jauh lebih kuat daripada komando ataupun persenjataan.

Konflik, pertentangan, dan kebijakan yang tak selalu memihak sering membuat kita lupa bahwa di balik angka dan laporan ada manusia. Editorial ini bukan hendak menyalahkan atau menghakimi. Justru ia mengajak semua pihak untuk melangkah sedikit lebih dekat, melihat sedikit lebih dalam.

Karena sebuah daerah tidak bisa dibangun dengan kekerasan; ia hanya bisa bertumbuh dengan kepercayaan. Kebijakan yang tidak menyentuh kemanusiaan hanya akan melahirkan perlawanan. Sebaliknya, dialog yang lahir dari hati berpotensi membawa perubahan yang lebih kokoh daripada sekadar pendekatan keamanan.

Momen itu—seorang ibu memeluk Kapolres—bukan kelemahan. Itu kekuatan.

Kekuatan sebuah bangsa untuk mengingat bahwa kita bisa menangis bersama, memahami bersama, dan mencari solusi bersama. Bahwa konflik bisa dilembutkan jika kita berhenti sejenak untuk saling melihat sebagai sesama manusia.

Semoga pelukan itu menjadi awal dari jembatan.
Jembatan menuju dialog.
Menuju kebijakan yang lebih adil.
Menuju damai yang tidak hanya di bibir, tetapi juga di dada setiap warga.

Karena sering kali, perubahan besar dimulai dari pelukan kecil.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *