Oleh : Dr. M.J.Latuconsina,S.IP,MA Staf Dosen Fisipol Unpatti
Di negara-negara dunia ketiga, sebagaimana istilahnya yang dipopulerkan Alfred Sauvy, seorang ahli demografi dan sejarawan ekonomi asal Prancis di tahun 1952, para pujangga tidak hanya melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk puisi maupun prosa saja. Tapi mereka pun melangkah jauh menggunakan pisau sastra untuk membicarakan demokrasi. Bahkan yang paling radikal mereka mengkritik penguasa melalui karya-karya sastra, dimana menelanjangi sisi gelap penguasa yang otoritarian.
Hal ini dapat dilihat pada pemikiran Miguel Ángel Asturias Rosales, pujangga asal Guatemala dalam novelnya berjudul :”El Senor Presidente”. Novelnya ini berkisah tentang diktator keji di sebuah negara Amerika Latin, dengan rencana-rencana liciknya untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Banyak yang menilai figur dalam novelnya itu mirip kisah Presiden Guatemala ke-13 Manuel Estrada Cabrere, yang pada era pemerintahannya bertindak otoriter. Namun rupanya presiden yang berlatarbelakang pengacara itu hanya dijadikan inspirasi oleh sastrawan yang berlatarbelakang diplomat tersebut.
Serupa pujangga jirannya dari Peru, Mario Vargas Llosa yang tampil dengan novel berlatarbelakang politik, berjudul “ Five Corners. Novel ini mengisahkan kondisi politik di era Presiden Peru ke-54 Alberto Fujimori yang suram. Ditandai penegak hukum korup, perilaku politisi tidak baik, selebriti tidak bermoral dan kekuasaan tentara tidak terbatas. Menghadirkan berbagai struktur rakyat didalamnya, kelas atas, menengah hingga bawah. Menarik ceritanya, juga menyentil jurnalis yang bersentuhan dengan upaya pemerasan bos tambang hingga jurnalis itu pun tewas.
***
Terlepas dari itu, di level nasional banyak pujangga yang hadir melalui karya puisi, cerpen dan novel dengan tema politik persuasif hingga radikal, yang relevan dengan dinamika demokrasi di tanah air, sejak era pemerintahan Orde Baru, Orde Lama, Orde Reformasi hingga ke era pemerintahan Pasca Reformasi, antara lain : Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, Wiji Tukul, Seno Gumira Ajidarma, Butet Kartaredjasa dan masih banyak lagi yang tidak sempat disebutkan nama mereka satu per satu.
Kali ini hadir lagi pujangga nasional dengan karya terbarunya, bukan lazimnya dalam bentuk puisi, novel dan cerpen yang bersentuhan dengan dinamika demokrasi di negara kita. Namun dalam bentuk essay ringan yang nikmat dibaca. Karya dimaksud adalah karya dari Sapardi Djoko Damono (SSD). Bagi sebagian besar warga masyarakat, yang gemar membaca karya sastra pujangga kelahiran Surakarta, Jawa Tengah ini mengenalnya melalui puisi-puisinya.
Essy karya Sapardi Djoko Damono tersebut, berjudul : “Tirani Demokrasi”, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2024 lalu. Narasi-narasi dalam buku yang baru terbit empat bulan yang lalu tersebut, relevan dengan konteks hidup matinya demokrasi di negara kita, dari zaman pemerintahan yang satu ke zaman pemerintahan yang lain. Saat kita membacanya kita kembali ke masa silam, maupun kembali ke masa kini. Kita bisa memahami situasi zaman secara berbeda-beda melalui tulisan-tulisan di buku ini.
Tema-tema dalam buku ini, antara lain : Awal 1955, Enam Puluh Tahun Kemudian, Indonesia Dreams ?, Demokrasi Menindas Demokrasi, April 1955, Negeri-Negeri Laksana Kue, Demokrasi Salah Satu Keywords, Selebaran PBB, Demokrasi dan Kedaulatan, Bangsa Mayoritas Minoritas, Lain Lubuk Lain Ikannya, Perang Dingin Kedua, SDS Marcuse across the universe, Demos Sebagai Tyrannos, Coblos Usai Dagang Sapi Pun Mulai Akhir 2014, Lampiran, Catatan Ringan Tentang Krisis Kebudayaan.
Tema selanjutnya : Bertumpah Darah yang satu Tanah Air Indonesia, Berbangsa yang Sama Bangsa Indonesia, menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia, keragaman dan keseragaman. Karya lawas dari sastrawan yang populer melalui kumpulan puisinya berjudul : Hujan Juni ini, merupakan karya terbaik, dimana perlu dibaca oleh para penggiat demokrasi dan kebudayaan. Pasalnya kontennya sebagian besar memaparkan tentang demokrasi, dan separuh kontennya menarasikan tentang kebudayaan di tanah air.
Kaperwil Maluku (SP)