Embun, Batu, dan Doa: Langit Taif Dalam Kisah Rasul 1qpdan Kenangan

Oleh: Mus Latuconsina – Taif, 5 Oktober 2025

Di negeri yang dikenal keras dan kering, ada satu tempat di mana embun masih jatuh perlahan di pagi hari  dan doa-doa menggema lebih dalam dari gema azan subuh.

Tempat itu bernama Taif, kota pegunungan yang menatap Mekkah dari kejauhan, dan menyimpan luka paling sunyi dalam sejarah kenabian.

Hari itu, kami naik perlahan dengan kereta gantung yang menembus kabut tipis. Di bawah, bebatuan tua dan lembah hijau menyambut dengan diam.

Seolah mereka tahu, bahwa tanah ini pernah menjadi saksi tetesan darah suci seorang Nabi dan dari luka itu, lahirlah doa yang tak berpagar dendam.

Taif bukan hanya kota sejuk. Ia adalah perpustakaan diam dari kisah-kisah yang ditulis dengan air mata dan kesabaran.

Di setiap batu yang berserakan, di setiap tikungan jalan Al-Hada yang meliuk bagai nadi, terasa ada bisikan sejarah yang ingin didengar kembali.

Dulu, Rasulullah datang ke kota ini dengan harapan bahwa ada hati yang bersedia mendengar kebenaran. Tapi yang beliau temukan hanyalah cemooh, batu, dan penolakan yang melukai tubuh dan hati.

Di tengah rasa sakit itu, di sebuah kebun sunyi, beliau menengadahkan tangan bukan untuk mengutuk, tapi untuk memohon hidayah bagi mereka yang menyakiti.

Dan hari ini, ribuan tahun kemudian, doa itu masih terasa hangat di antara embun yang menggantung di ranting pinus Jebel Dakkā.

Gunung yang menjulang ini bukan sekadar titik tinggi di Taif, tapi juga tempat para ulama menandai waktu dengan bayangan matahari — dan mungkin, tempat di mana waktu pernah berhenti sejenak mendengar tangis seorang Nabi.

Kami berdiri di puncaknya, menatap langit yang jernih dan mendalam. Angin berhembus membawa aroma bunga, debu sejarah, dan rasa rindu yang tak bisa dijelaskan.

Di sini, waktu bukan sekadar angka, tapi ruang untuk merenung. Setiap desir angin seperti membisikkan ulang doa Rasul yang penuh cinta di tengah luka:

“Jika Engkau tidak murka padaku, maka aku tidak peduli…”

Turun dari puncak, kami menyusuri sisa-sisa Pasar Ukaz, di mana syair dan kebanggaan pernah bertarung dalam kata-kata.

Di tempat ini pula, Rasulullah ﷺ menyampaikan risalah  walau kebanyakan memilih menertawakan daripada mendengarkan.

Namun siapa sangka, dari kota yang menolak, akhirnya cahaya risalah menyebar, melintasi waktu dan benua.

Malam datang pelan-pelan di Taif. Kabut menggantung di balkon hotel tua bergaya Hijazi. Kami duduk dengan secangkir teh mint, memandang kota yang mulai berkelip.

Dalam diam, kami mengerti: bahwa perjalanan bukan tentang tempat, tapi tentang makna. Dan Taif mengajarkan satu hal: kadang luka tak harus dibalas cukup diserahkan pada langit, bersama doa.

Di kota ini, kami tidak hanya melihat. Kami merasa. Kami mendengar  bukan dengan telinga, tapi dengan hati. Karena di antara embun, batu, dan doa,

Taif menyimpan bukan hanya kisah tetapi kenangan akan jiwa yang tak pernah lelah mencintai, bahkan saat ia dilukai.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *