Muhamad Daniel Rigan, Janji Palsu dan Sesat Fikir Jualan Agama di Pilkada Buru

Fokuspost.Com | Maluku –  Calon Bupati Buru, Muhamad Daniel Rigan (MDR) dalam berbagai kesempatan kampanye selalu menyampaikan rasa keprihatinannya atas kondisi politik penjenjelang Pilkada 27 November nanti.

Terbaru, saat kampanye dialogis di desa Seith, Kecamatan Kaki Air, Kabupaten Buru, Jumat, (15/11/2024), MDR mengatakan pesta demokrasi dengan biaya besar yang dikeluarkan oleh negara akan ternodai dengan issue SARA dan janji-janji palsu oleh para calon pemimpin yang diteriakkan dari panggung ke panggung.

Menurut MDR, untuk apa negara mengeluarkan anggaran puluhan miliar saat Pilkada lalu calon-calon pemimpin hanya datang dan mengumbar janji palsu. “Uang puluhan miliar habis, tidak punya kualitas dalam kepemimpinan dan tidak punya integritas, ini harus kita hentikan”, ujar MDR.

MDR juga menyentil orang-orang yang tak henti-hentinya memfitnah dirinya dengan issue SARA, seperti ‘jangan pilih turunan Cina yang agamanya tidak jelas’.

Dalam kaitan dengan issue SARA di atas, penulis akan mengutip pernyataan Menteri Agama era Presiden Jokowi, Yaqub Cholil Qoumas atau Gus Yagub, pernah memberikan himbauan agar “Jangan memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan”. Agama harus digunakan untuk kebaikan seluruh umat, rahmatan lil alamin, bukan menjadi alat politik yang berpotensi memecah belah umat.

Ketika agama sudah dijadikan sebagai kendraan politik, maka agama akan kehilangan sakralitas illahi. Di tangan politisi power seeking (pemburu kekuasaan), agama diposisikan sejajar dengan instrumen politik lainnya, semisal partai politik, karena dipakai untuk meraih kekuasaan semata.

Agama memang selalu rentan dijual dengan harga murah. Para pelaku politik senang memainkan issue agama, karena tak perlu high political cost (biaya politik besar) untuk mempengaruhi pemilih. Apalagi tingkat demokrasi Indonesia khususnya di Buru belum secanggih negara seperti Amerika. Voting behavior (prilaku pemilih) masih banyak tradisional dan emosional, sehingga memilih pemimpin seiman diendorse sebagai jalan mudah menuju “surga”.

Jika dilihat dari aspek sosiologi politik, jualan agama selalu muncul bersamaan dengan issue mayoritas versus minoritas. Meminjam istilah Alexis De Touquiville, inilah yang sering memunculkan “tirani mayoritas” menindas minoritas. Padahal demokrasi selalu mengajarkan kesetaraan.

Hukum politik demokrasi tak pernah mensyaratkan hanya golongan tertentu yang bisa menjadi pemimpin. Siapapun bebas dipilih dan memilih selama dia memenuhi syarat prosedural, maka berhak untuk diusung dalam panggung demokrasi. Toh pemimpin yang terpilih dari rahim demokrasi, maka dia harus bekerja untuk kemajuan dan kesejahteraan semua warganya.

Ekses negatif jika issue agama menjadi instrumen utama meraih kekuasaan. Publik tidak mendapatkan pendidikan politik yang baik. Tak pula disodorkan memilih pemimpin yang berkualitas. Tidak disuruh memeriksa rekam jejak calon pemimpin yang akan dipilihnya, tidak perlu calon pemimpin tersebut memiliki kualitas kepemimpinan yang buruk atau tidak.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *