Anak-Anak Perempuan di Pentas Politik Asia

Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA,
Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura

Bermula dari ungkapan MacKenzi Lee, seorang penulis berkewarganegaraan Amerika Serikat, yang populer melalui karyanya berjudul : ”Loki: Where Mischief Lies” yang dipublis di tahun 2019 lalu bahwa, ”Kamu layak berada di sini. Kamu layak untuk hidup. Kamu berhak mengambil tempat di dunia pria ini.” Qoutes penulis dari Amerika Serikat ini, relevan dengan kiprah anak-anak perempuan para negarawan di panggung politik di negara-negara kawasan Asia selatan, Asia timur, dan Asia tenggara. Mereka tentu layak berada di pentas politik sebagai eksistensi mereka dalam meraih kekuasaan. Hal ini menandai posisi mereka yang egaliter (setara) dengan pria di panggung politik.
***
Terlepas dari itu, zaman sudah bergerak begitu jauh, hal ini ditandai dengan bentuk pemerintahan kebanyakan dari negara-negara didunia tidak lagi didominasi oleh monarki absolut. Suatu bentuk pemerintahan yang tidak dikenal pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Para Kepala Negara dan Kepala Pemerintan berasal dari garis keturunan langsung dari para Raja, Kaisar, dan Sultan sebelumnya. Model dari bentuk pemerintahan monarki absolut tersebut, dapat ditemukan di negara-negara Asia barat dan Asia tenggara, seperti : Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Brunei Darussalam.

Disamping bentuk pemerintahan monarki absolut, terdapat juga bentuk pemerintahan monarki konstitusional. Dalam bentuk pemerintahan monarki konstitusional, dikenal adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Model dari bentuk pemerintahan monarki konstitusional dapat ditemukan negara-negara Eropa barat, selatan, utara dan Asia timur, serta Asia tenggara seperti : Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Swedia, Denmark, Jepang, dan Thailand. Negara-negara ini mengalami transformasi dari bentuk pemerintahan monarki absolut ke bentuk pemerintahan monarki konstitusional, dikarenakan dinamika politik kenegaraannya yang terjadi.

Pada akhirnya para Raja, dan Kaisar pun berbagi kekuasaan, yang dalam sejarahnya diawali dengan terjadinya perang saudara, perang antar sesama negara tetangga dan sahabat. Dinamika seperti ini rata-rata dialami oleh negara-negara yang berada di Eropa barat, selatan, utara dan Asia timur. Bahkan ada juga melalui kudeta yang dilakukan pihak militer terhadap pemerintahan para Raja. Pada akhirnya para Raja pun berbagi kekuasaan, yang ditandai dengan kehadiran eksekutif yakni Perdana Menteri selaku Kepala Pemerintahan, yang dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Sementara para Raja memiliki posisi sebagai Kepala Negara, yang sifatnya seremonial dan diplomasi luar negeri belaka.

Begitu pula hadirnya legislatif dimana para anggota yang mengisi lembaga ini dipilih melalui Pemilu. Serta kehadiran yudikatif, yang para pimpinannya diangkat oleh Raja. Praktik bentuk pemerintahan monaarki konstitusional semacam ini terjadi di Thailand. Dalam dinamika politiknya Raja tidak lagi seabsolut dahulu kala, karena telah berbagi kekuasaan, yang secara kuantitatif terjadi 11 kudeta. Diawali kudeta tahun 1932, peristiwa dikenal sebagai Revolusi Siam tersebut adalah momen titik balik dalam sejarah Thailand. Pelakunya adalah sekelompok anggota militer yang disebut sebagai “four musketeers” melengserkan Raja Prajadhipok (1893-1941).

Kudeta ini membuat bentuk pemerintahan monarki absolut tidak berlaku lagi, yang tergantikan dengan bentuk pemerintahan monarki konstitusional. Kudeta ini kemudian ditindaklanjuti dengan pendirian Partai Rakyat Thailand (Khana Ratsadon) sebagai instrumen politik penghubung antara kepentingan rakyat, dan negara. Hingga berturut-turut kudeta berikutnya sejak : tahun 1933, 1947, 1951, 1957, 1958, 1971, 1976, 1977, 1991, dan terakhir kudeta tahun 2006 lalu. Namun sebenarnya pakar Asia tenggara dari Chiang Mai University, Paul Chamber mengatakan, sedikitnya ada 30 upaya kudeta sejak tahun 1912. Sebagian ada yang berhasil dan ada juga yang gagal.

Sangat dimungkinkan di tahun-tahun mendatang akan terjadi kudeta lagi. Pasalnya militer selalu mengintervensi politik domestik Thailand. Kendati saat ini sistem politik di negara yang dijuluki ”Gaja Putih” ini sipil tengah mengemuka dengan menjadi Perdana Menteri, bukan berarti selamanya mereka akan mendominasi atmosfir perpolitikan Thailand. Sebab, militer masih memiliki taring dalam pentas politik, dimana sering mengambil posisi kompromistis dengan Raja tatkala Perdana Menteri, dalam menjalankan roda pemerintahan tidak sesuai dengan ekspetasi kedua belah pihak, maka jawabannya adalah kudeta dilakukan militer atas sokongan istana.
***
Dalam konteks ini, baik itu dalam bentuk pemerintahan monarki absolut, monarki konstitusional, demokrasi, dan dalam bentuk pemerintahan republik, terkadang tidak memiliki perbedaan pada figur-figur Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang memerintah. Pasalnya terdapat sebagian negara dengan bentuk pemerintahan demokrasi dan republik, namun dalam karakter kepemimpinannya masih cenderung aristokrasi. Ini dilihat dari bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan kelompok kecil, yang mendapat keistimewaan, atau kelas yang berkuasa (ruling class).

Sisi yang membedakan dengan karakter kepemimpinan dalam bentuk pemerintahan monarki absolut, monarki konstitusional dengan bentuk pemerintahan demokrasi dan republik, hanya pada mekanisme transformasi kepemimpinan. Dalam transformasi kepemimpinan pada bentuk pemerintahan monarki absolut kepada para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dilakukan melalui pengangkatan. Sedangkan transformasi kepemimpinan dalam bentuk pemerintahan monarki konstitusional kepala Kepala Negara dilakukan melalui pengangkatan. Sementara transformasi kepemimpinan dalam bentuk pemerintahan demokrasi dan republik kepada para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dilakukan melalui Pemilu.

Bentuk pemerintahan demokrasi, dan republik nyaris karakter kepemimpinannya mirip dengan bentuk pemerintahan monarki absolut dan monarki konstitusional. Dimana cenderung aristokrasi, sehingga sering diidentikan dengan kepemimpinan dinasti, karena terwariskan jabatan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dari ayah/bapak kepada anak-anak mereka, hanya saja mekanismenya melalui Pemilu, bukan pengangkatan. Fenomena ini ditemukan pada kepemimpinan para perempuan di negara-negara di kawasan Asia selatan, Asia timur, dan Asia tenggara, yang cenderung aristokrasi. Para perempuan tersebut tampil dipanggung politik (political stage) negaranya masing-masing, hingga kemudian sukses menjadi Presiden dan Perdana Menteri.

Mayoritas dari para figur Presiden dan Perdana Menteri perempuan tersebut, juga memiliki ayah atau bapak yang sebelumnya adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di negara mereka masing-masing. Hal ini yang kemudian diidentifikasikan sebagai model kepemimpinan oaristokrasi, dimana bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan kelompok kecil, yang mendapat keistimewaan, atau kelas yang berkuasa (ruling class). Para Presiden dan Perdana Menteri perempuan itu, antara lain : 1) Indira Priyadarshini Gandhi Perdana Manteri India ke-3 periode 1980-1984 anak dari Jawaharlal Nehru Perdana Menteri India ke-1 periode 1947-1964.

Selanjutnya 2) Benazir Bhutto Perdana Menteri Pakistan ke-13 anak dari Zulfikar Ali Bhutto Presiden Pakistan ke-12 periode 1971-1973/Perdana Menteri Pakistan ke-9 periode 1973-1977. Kemudian 3) Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri Presiden Indonesia ke-5 periode 2001-2004 anak dari Soekarno Presiden Indonesia pertama periode 1945-1967. Berikutnya 4) Park Geun-hye Presiden Korea Selatan ke-11 periode 2013-2017 ayahnya Park Chung-hee merupakan Presiden Korea Selatan ke-3, yang menjabat pada tahun 1963-1979. Terakhir 5) Sheikh Hasina Wazed Perdana Menteri Bangladesh ke-10 periode 2009-2024 anak dari Presiden Bangladesh ke-1 Sheikh Mujibur Rahman periode 1971-1972.
***
Diluar kesuksesan para perempuan di pentas politik negara mereka, yang berada di kawasan Asia selatan, Asia timur, dan Asia tenggara tersebut. Ternyata ada sebagian dari mereka dan ayah mereka, yang pada akhirnya menjadi tumbal dari pertarungan politik di pentas politik di negara mereka, dengan dieksusi di tiang gantungan, tewas di dor sampai terpinggirkan dari pentas politik. Ini ditemukan pada sosok Priyadarshini Gandhi Perdana Manteri India ke-3, anak dari Jawaharlal Nehru Perdana Menteri India ke-1. Ia tewas terbunuh pada tahun 1984 dalam aksi teror yang dilakukan dua pengawal yang memeluk ajaran Sikh.

Nasib serupa dialami Benazir Bhutto Perdana Menteri Pakistan ke-13, anak dari Zulfikar Ali Bhutto Presiden Pakistan ke-12 /Perdana Menteri Pakistan ke-9 periode. Baik anak dan ayah yang pernah mengemban jabatan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dari negara di Asia bagian selatan ini, sama-sama tewas. Benazir Bhutto terbunuh pada 27 Desember 2007 di Rawalpindi Pakistan, usai ia melakukan sebuah acara kampanye, saat seorang anak dibawah umur, yang berusia 15 tahun bernama Bilal mendekati konvoinya, menembaknya, dan meledakkan diri. Pemuda itu, adalah orang yang ditugaskan melakukan serangan oleh Taliban Pakistan.

Sementara ayahnya Zulfikar Ali Bhutto digulingkan dalam sebuah kudeta militer, yang digerakkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Pakistan, Jenderal Muhammad Zia ul Haq pada 5 Juli 1977. Ayahnya Zulfikar Ali Bhutto tiga tahun kemudian yakni, pada 4 April 1979 dihukum gantung di penjara Islamabad Pakistan tatkala ia tak lagi mengemban jabatan sebagai Presiden dan Perdana Menteri Pakistan. Hukuman gantung tersebut, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Pakistan di bawah undang-undang darurat atas tuduhan terhadapnya, yang memberikan wewenang atas pembunuhan terhadap seorang lawan politik.

Kondisi yang sama juga dialami Park Chung-hee Presiden Korea Selatan ke-3, ayah dari Park Geun-hye Presiden Korea Selatan ke-11. Pada 26 Oktober 1979, enam hari setelah protes mahasiswa terhadap kepemimpinan Presiden mereka, yang terkait dengan model sistem politik Yusin berakhir, Park Chung Hee pun ditembak mati di kepala dan dada oleh Kim Jae-gyu, Direktur Korean Central Intelligence Agency (KCIA). Penembakan itu terjadi setelah jamuan makan di rumah persembunyian di Gungjeong-dong, Jongno- ya, Seoul.

Rupanya tidak sampai di Zulfikar Ali Bhutto Presiden Pakistan ke-12/Perdana Menteri Pakistan ke-9, dan Park Chung-hee Presiden Korea Selatan ke-3, yang tewas tatkala mereka tidak lagi mengemban dan sedang mengemban jabannya selaku Presiden dan Perdana Menteri saja. Nasib serupa juga dialami Presiden Bangladesh ke-1 dan ke-4 Sheikh Mujibur Rahman. Ia bapak dari Sheikh Hasina Wazed Perdana Menteri Bangladesh ke-10. Sheikh Mujibur Rahman tewas pada 15 Agustus 1975. Ini terjadi tatkala sekelompok perwira muda militer menyerbu tempat tinggal Presiden dengan kendaraan lapis baja. Mereka membunuhnya beserta keluarga dan para staf pribadinya.
***
Dari sekian Presiden dan Perdana Menteri di negara-negara di kawasan Asia selatan, Asia timur, dan Asia Tenggara tersebut, terdapat salah satu Presiden yakni, Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri Presiden Indonesia ke-5, yang populer di negaranya dengan sapaan Megawati Sekarno Putri. Ia anak dari Soekarno Presiden Indonesia ke-1. Jika terdapat Presiden dan Perdana Menteri di negara-negara di kawasan Asia selatan, Asia timur, dan Asia tenggara yang bapaknya digantung dan ditembak, maka nasib ayahnya berbeda yakni, dipinggirkan secara politik dari panggung politik nasional dinegaranya Indonesia.

Hal ini terjadi seiring dengan peristiwa Gerakan 30 September atau G30S pada tahun 1965, yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan menculik tujuh jenderal dan perwira tinggi Angkatan Darat. (AD). Peristiwa ini menandai titik balik memudarnya kekuasaan Soekarno dari jabatannya selaku Presiden Indonesia. Sehingga akhirnya Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), sekaligus pengemban Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), sejak saat itu mulai berlahan-lahan naik ke puncak Pemerintahan Indonesia. Berbekal Supersemar Jenderal Soeharto menstabilisasi keamanan nasional.

Jenderal Soeharto dikemudian hari menempati posisi sebagai Pejabat Presiden Indonesia pada 22 Februari 1967. Banyak kalangan menilai peminggiran Soekarno dari panggung politik Indonesia, bukan lazimnya suatu kudeta yang didalangi oleh tentara, yang anti komunisme. Akan tetapi merupakan kudeta merangkak, yang dilakukan oleh tentara yang anti komunisme. Kronologisnya bermula dari : peristiwa G30S 30 September 1965, Supersemar 1966, penyerahan kekuasaan 12 Maret 1967, hingga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut kekuasaannya 12 Maret 1967. (detik.com 2007, 2014, www.bbc.com 201, tirto.id 2022, ebsco.com 2023, wikipedia.org 2024).

Terlepas dari itu, betapa para wanita di negara-negara di kawasan Asia selatan, Asia timur, dan Asia tenggara telah menunjukan kehebatannya dalam panggung politik, dengan sukses memenangkan Pemilu sehingga menjadi Presiden dan Perdana Menteri. Namun dibalik kehebatan tersebut, sebenarnya kesuksesan mereka di pentas politik, tidak terlepas dari nama besar ayah mereka. Tak pelak mereka pun dinilai sebagai model kepemimpinan aristokrasi di negara dengan bentuk pemerintahan demokratis dan republik itu. Terdapat sedikit yang menjadi martir bersama orang tuanya yang di gantung, di dor hingga dipinggirkan secara politik. Meskipun demikian, mereka telah menunjukan diri sebagai figur pimpinan berpkiran maju, yang setara dengan kaum pria di panggung politik.

Kaperwil Maluku (SP)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *