Belakangan ini, muncul banyak perdebatan di tengah masyarakat terkait sosok yang tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai tokoh.
Padahal, status sebagai tokoh masyarakat seharusnya lahir dari pengakuan publik, karena prestasi dan jasanya terhadap masyarakat setempat, bukan hanya sekadar pencitraan melalui media atau pengangkatan sepihak.
Fenomena ini tak hanya terjadi pada tokoh agama dan tokoh adat, tetapi juga merambah ke berbagai bidang lain—bahkan ada yang disebut “tokoh serba 35 ribu” (wkwkwk).
Istilah ini mungkin muncul sebagai sindiran terhadap sosok-sosok yang dianggap “dibentuk” secara instan dengan motif politik tertentu.
Masyarakat Labuhanbatu sendiri memiliki hak penuh untuk menilai siapa yang benar-benar layak disebut sebagai tokoh.
Jika perlu, survei di berbagai daerah bisa dilakukan untuk menggali fakta dan memastikan bahwa seseorang benar-benar memiliki pengaruh serta peran yang signifikan bagi masyarakat.
Di era informasi yang serba cepat, klaim sepihak tanpa bukti nyata hanya akan menimbulkan kebingungan.
Maka, penting bagi kita untuk lebih kritis dalam mengenali siapa yang memang berkontribusi bagi masyarakat dan siapa yang sekadar mencari panggung.