Editorial Rabu, 3 Juli 2025
Di suatu hari yang malas, seekor babi hutan terlihat santai batonang—berendam dengan damai—di kubangan air yang menggenang di tengah jalan utama samping RH Mart, Kota Namlea. Ia tampak tenang, seolah sedang menikmati spa alami di pusat ibu kota Kabupaten Buru. Tak ada hiruk-pikuk kendaraan, tak ada bunyi klakson yang mengusir. Ia sendiri. Ia berkuasa atas lubang yang sudah lama menganga.
Gambar itu tersebar cepat, menyulut tawa getir sekaligus perenungan. Ini bukan sekadar potret seekor babi yang mandi di jalan kota, ini adalah metafora diam-diam dari luka panjang yang tak kunjung dijahit.
Tiga tahun sudah Buru menanti pemimpin definitif. Tanpa bupati penuh kewenangan, banyak rencana hanya berputar di ruang rapat dan dokumen usulan. Jalan-jalan dalam kota—urat nadi pergerakan masyarakat—perlahan berubah menjadi genangan. Tak sedikit kendaraan rusak, tak sedikit pengendara motor yang hampi jatuh, tak sedikit pula warga yang menghela napas panjang setiap melintas.
Kini, harapan baru datang bersandar pada pundak Bupati dan Wakil Bupati yang baru saja dilantik. Warga tak menuntut langit diturunkan ke bumi. Mereka hanya berharap tanah tempat mereka berpijak diperbaiki. Mereka ingin agar jalan-jalan dalam kota, terutama yang berada di pusat pelayanan dan pemukiman, diprioritaskan. Karena jalan bukan hanya sarana, tapi juga wajah dan martabat kota.
Namlea telah menunggu. Babi hutan yang batonang telah bicara—dalam diamnya, ia menyindir kita semua. Tapi rakyat percaya, pemimpin yang baru membawa niat yang lurus dan langkah yang tulus. Saatnya jalan-jalan kembali kering, dan babi hutan kembali ke hutan, bukan ke halaman rumah kita…