Oleh: Taib Warhangan, SH, MH.
Setiap pemimpin sejati dibentuk oleh perjalanan hidup. Bukan dari gelar, bukan dari jabatan, apalagi dari sorotan kamera. Pemimpin sejati ditempa oleh rasa lapar, oleh jalan kaki yang panjang, oleh keringat yang mengalir karena harus membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup. Dan itulah yang dilalui Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa.
Beliau bukan orang yang tiba-tiba muncul di kursi kekuasaan tanpa melewati kepahitan. Ia adalah anak dari keluarga guru biasa. Ia tahu bagaimana rasanya menahan lapar demi saudara yang lainnya bisa makan. Ia tahu bagaimana perihnya melihat orang tua bekerja tanpa lelah agar anak-anak bisa tetap sekolah. Ia paham apa artinya hidup dalam keterbatasan tapi tetap harus berjalan, tetap harus kuat.
Pengalaman itu tidak membuatnya keras kepala. Justru sebaliknya, pengalaman itu menanamkan empati yang dalam. Ia tidak memandang rakyat dari atas, tapi sejajar—karena di sanalah dulu ia berdiri. Itulah sebabnya, ketika mengambil keputusan menertibkan tambang ilegal di Gunung Botak, Gubernur tahu betul resikonya. Ia sadar rakyat bisa merasa khawatir, takut kehilangan penghasilan. Tapi ia juga tahu, membiarkan rakyat terus hidup dalam tambang tanpa aturan adalah bentuk pembiaran terhadap bahaya yang lebih besar: longsor, keracunan merkuri, konflik, bahkan kematian.
Perjalanan hidup yang susah mengajarkan Gubernur satu hal: bahwa kebaikan tak selalu datang dalam bentuk yang menyenangkan. Kadang kebaikan datang lewat keputusan pahit, lewat tindakan yang berat, tapi semuanya demi masa depan yang lebih aman dan bermartabat.
Ia ingin rakyat Kabupaten Buru bisa keluar dari lingkaran tambang ilegal. Ia ingin negeri ini tidak hanya jadi tempat mencari nafkah, tapi tempat hidup yang layak dan beradab. Ia ingin anak-anak tidak tumbuh di tengah lubang-lubang tambang, tetapi di atas tanah yang subur dan sehat, di rumah yang tenang, dengan sekolah dan harapan.
Rakyat Kabupaten Buru jangan hawatir. Gubernur tidak sedang melupakan kita. Ia justru sedang menjaga. Sebab ia tahu luka-luka yang pernah ada di kakinya dulu, adalah luka yang kini juga dirasakan rakyatnya. Dan ia tak akan membiarkan luka itu menjadi warisan untuk generasi berikutnya.
Kaperwil Maluku (SP)